Pekik Kemuliaan. Морган Райс
Чтение книги онлайн.
Читать онлайн книгу Pekik Kemuliaan - Морган Райс страница 14
Dua orang berotot maju ke muka, dengan kecepatan yang mengejutkan Erec. Keduanya mendekat ke arah Erec dengan segera, menggapaikan tangan hendak mencengkeram dadanya.
Tapi mereka tidak sadar siapa yang mereka serang. Erec lebih cepat daripada mereka berdua, ia menghindar dari mereka, menarik salah satu pergelangan tangan mereka dan memelintirnya ke belakang sampai para pria itu terjatuh dengan punggungnya, kemudian saling menyikut tenggorokan satu sama lain. Erec melangkah ke depan dan membanting leher pria itu ke lantai, membuatnya pingsan. Kemudian membungkuk dan membenturkan kepalanya ke pria yang satunya, tepat di tenggorokannya sampai ia terkapar.
Kedua tukang pukul itu terbaring di sana, pingsan. Lalu Erec melangkahi tubuh mereka ke arah si penjaga penginapan, yang gemetaran di kursinya, matanya terbelalak ketakutan.
Erec mencengkeram rambut pria itu, menyentakkan kepalanya dan mengarahkan belati ke arah tenggorokan pria itu.
“Katakan di mana dia dan aku mungkin akan membiarkanmu hidup,” seru Erec.
Pria itu tergagap.
“Aku akan mengatakannya padamu, tapi kau hanya buang-buang waktu,” jawabnya. “Aku menjualnya pada seorang bangsawan. Ia punya tentara sendiri dan tinggal di kastilnya sendiri. Ia seorang yang sangat berkuasa. Kastilnya tak bisa ditembus. Lagipula prajuritnya sangat banyak. Ia orang yang sangat kaya – ia punya pasukan sewaan yang siap melakukan perintahnya kapanpun. Setiap gadis yang dibelinya, dijaganya. Tak mungkin kau bisa mendapatkannya kembali. Kembalilah ke tempat asalmu. Gadis itu sudah tidak ada.”
Erec menekan belati itu semakin kuat ke tenggorokan pria itu sampai darahnya mulai mengucur, dan pria itu mulai menjerit.
“Di mana bangsawan itu?” desis Erec, kehilangan kesabaran.
“Kastilnya ada di barat kota. Pergilah ke Gerbang Barat kota dan kastil itu tak jauh dari sana. Kau akan melihatnya. Tapi itu sia-sia. Ia membayar banyak uang untuk gadis itu – lebih daripada harga yang seharusnya.”
Erec tak tahan lagi. Tanpa berpikir panjang, ia memotong tenggorokan makelar seks itu, membunuhnya. Darah mengalir di mana-mana saat pria itu terbujur lemas di kursinya, mati.
Erec memandang ke arah mayatnya, ke arah para tukang pukul yang pingsan, dan merasa muak dengan tempat ini. Ia tak percaya tempat semacam ini benar-benar ada.
Erec berjalan menyusri ruangan dan mulai membuka tali yang mengikat semua wanita di situ, memotong tali yang tebal, membebaskan mereka satu per satu. Beberapa bangkit dan berlari ke arah pintu. Ruangan itu menjadi lengang, dan mereka semua berhamburan ke arah pintu. Beberapa terlalu mabuk untuk bangkit dan yang lainnya menolongnya.
“Siapapun dirimu,” satu wanita berkata pada Erec, berhenti sebelum ia keluar dari pintu, “diberkatilah kau. Dan ke manapun kau akan pergi, semoga Tuhan menolongmu.”
Erec menghargai rasa terima kasih dan berkat itu. Dan perasaannya mengatakan, ke mana ia akan pergi sekarang, ia akan membutuhkannya.
BAB SEPULUH
Fajar menyingsing, menyeruak dari jendela kecil pondok Illepra, menerpa mata Gwendolyn yang tertutup, dan membangunkannya perlahan. Matahari pertama yang berwarna jingga pucat, membelainya, membangunkannya di kesunyian pagi. Ia mengejap-ngejapkan matanya beberapa kali, mula-mula merasa bingung, heran ada di mana ia saat itu. Lalu ia pun menyadari:
Godfrey.
Gwen telah jatuh tertidur di lantai pondok, terbaring di kasur jerami dekat pembaringan Godfrey. Illepra tertidur tepat di sisi Godfrey, dan itu adalah malam panjang untuk mereka bertiga. Godfrey merintih sepanjang malam, tubuhnya menggigil dan gelisah. Dan Illepra merawatnya sekuat tenaga. Gwen berusaha membantu sebisanya, membawakan kain basah, memerasnya, mengompreskannya di kening Godfrey dan membawakan Illepra obat-obatan dan salep yang dimintanya terus menerus. Malam itu tampaknya tak pernah berakhir. Berulang kali Godfrey menjerit, dan ia merasa yakin Godfrey sedang sekarat. Berulang kali ia memanggil nama ayah mereka, dan Gwen merasa bergidik. Ia dapat merasakan kehadiran ayahnya, melayang-layang di antara mereka. Ia tak tahu apakah ayahnya ingin anak lelakinya ini hidup atau mati – hubungan mereka tak terlalu baik.
Gwen juga tidur di pondok karena ia tak tahu ke mana harus pergi. Ia merasa dirinya taka man jika kembali ke kastil, berada satu atap dengan kakaknya. Ia merasa aman di sini, di rumah Illepra, dengan Akorth dan Fulton yang berjaga di luar. Ia merasa tak seorang pun tahu di mana ia berada, dan biarlah seperti itu. Lagipula, telah tumbuh ikatan antara dia dan Godfrey dalam beberapa hari terakhir, ia menemukan kakak yang tak pernah dikenalnya, dan menyedihkan saat mengetahui ia sekarat.
Gwen segera berdiri, bergegas ke menuju Godfrey, jantungnya berdetak keras, bertanya-tanya apakah ia masih hidup. Sebagian darinya merasa kakaknya akan terbangun di pagi hari, ia akan hidup. Dan jika tidak, maka berakhirlah segalanya. Illepra terbangun dan menuju ke arahnya. Ia pasti tertidur di tengah malam, Gwen pasti akan memarahinya.
Mereka berdua berlutut di sana, di sisi Godfrey, di dalam pondok kecil yang dipenuhi cahaya. Gwen memegang pergelangan tangannya dan menggoyangkannya, sedangkan Illeppra menyentuhkan tangannya di kening Godfrey. Ia menutup matanya dan bernafas – mendadak Godfrey membuka matanya. Illepra menarik tangannya karena terkejut.
Gwen juga terkejut. Ia tak mengira Godfrey akan membuka matanya. Ia berpaling dan menatap ke arahnya.
“Godfrey?” tanyanya.
Ia menyipitkan matanya, memejamkan mata kemudian membuka mata kembali. Lalu, Gwen takjub, karena Godfrey menyangga tubuhnya dengan satu siku dan menatap mereka.
“Jam berapa ini?” tanyanya. “Di mana aku?”
Suaranya tampak waspada, sehat, dan Gwen merasa sangat lega. Ia tersenyum lebar bersama Illepra.
Gwen mendekap dan menyambut Godfrey, memeluknya, lalu mundur.
“Kau hidup!” serunya.
“Tentu aja,”katanya. “Mengapa tidak? Siapa ini?” tanyanya, berpaling ke arah Illepra.
“Wanita yang menyelamatkanmu,” jawab Gwen.
“Menyelamatkanku?”
Illepra menatap ke lantai.
“Aku hanya membantu sedikit,” katanya ramah.
“Apa yang terjadi padaku?” tanya Godfrey pada Gwen, panik. “Yang terakhir kuingat, aku sedang minum di kedai dan...”
“Kau diracun,” kata illepra. “Sebuah racun yang langka dan sangat kuat. Aku tak pernah menemukannya dalam beberapa tahun ini. Kau beruntung bisa hidup. Kenyataannya, kau satu-satunya yang selamat dari racun itu. Seseorang pasti sangat mengasihimu.”
Mendengar perkataan Illepra, Gwen tahu bahwa ia benar, dan segera ia teringat akan ayahnya. matahari menerobos lewat jendela, lebih kuat, dan ia merasakan kehadiran ayahnya bersama mereka. Ia ingin Godfrey hidup.
“Itu benar,” kata Gwen sambil tersenyum. “Kau sudah berjanji tidak minum-minum lagi. Sekarang lihat apa yang terjadi.”
Ia berpaling dan tersenyum ke arah Gwen. Gwen melihat pipinya kembali hidup dan terasa penuh dengan kelegaan.