Penjelmaan. Морган Райс

Чтение книги онлайн.

Читать онлайн книгу Penjelmaan - Морган Райс страница 3

Penjelmaan - Морган Райс Jurnal Vampir

Скачать книгу

rekreasi" ini, dan ia telah melewati melalui gerbang logam yang besar. Sekarang ia sudah masuk - terkurung oleh gerbang logam besar, diatapi oleh kawat berduri. Ia merasa seperti pergi menuju penjara.

      Memandangi sekolah yang sangat besar, bar dan kurungan di semua jendela, tidak membuatnya merasa lebih baik. Ia selalu beradaptasi dengan mudah di sekolah barunya, besar dan kecil - tapi itu semua ada di pinggir kota. Mereka memiliki semua rerumputan, pepohonan, langit. Di sini, tidak ada hal lain selain kota. Ia merasa ia tidak dapat bernapas. Hal itu membuatnya ngeri.

      Bel lain keras terdengar dan ia beringsut berjalan, bersama ratusan anak-anak, menuju pintu masuk. Ia terdesak secara kasar oleh seorang gadis besar, dan menjatuhkan buku hariannya. Ia mengambilnya (mengacaukan rambutnya), dan kemudian mendongak untuk melihat apakah gadis itu akan meminta maaf. Tapi ia tidak terlihat, karena telah melanjutkan perjalanan ke dalam kerumunan. Ia mendengar tawa, tapi tidak tahu apakah itu ditujukan padanya.

      Ia mencengkeram buku hariannya, satu hal yang membuatnya bertahan. Buku itu telah berada bersamanya ke mana saja. Ia menyimpan catatan dan gambar pada setiap tempat yang ia kunjungi. Itu adalah sebuah peta perjalanan masa kanak-kanaknya.

      Ia akhirnya mencapai pintu masuk, dan harus mendesak hanya untuk berjalan melewatinya. Rasanya seperti memasuki kereta pada jam sibuk. Ia berharap akan menjadi hangat ketika ia ada di dalam, tapi pintu terbuka di berlakangnya tetap meniupkan angin kencang ke punggungnya, membuat semakin dingin lagi.

      Dua penjaga keamanan besar berdiri di pintu masuk, diapit oleh dua polisi New York City, seragam lengkap, senjata mencolok di sisi mereka.

      "JALAN TERUS!" perintah salah satu dari mereka.

      Ia tidak dapat mengerti mengapa kedua polisi bersenjata harus menjaga pintu masuk sebuah sekolah tinggi. Perasaan takutnya semakin besar. Perasaan itu lebih buruk ketika ia mendongak dan melihat bahwa ia harus melewati detektor lohan dengan keamanan bergaya bandara.

      Empat polisi bersenjata lainnya di sisi lain detektor, bersama dengan dua penjaga keamanan lainnya.

      "KOSONGKAN KANTONGMU!" bentak seorang petugas.

      Caitlin memperhatikan remaja lain mengisi wadah plastik kecil dengan barang-barang dari saku mereka. Ia segera melakukan hal yang sama, memasukkan ipod, dompet, kunci-kuncinya.

      Ia beringsut melalui detektor, dan sirene melengking.

      "KAU!" bentak seorang petugas. "Minggir!"

      Tentu saja.

      Semua remaja memandanginya saat ia mengangkat tangannya, dan petugas itu mengarahkan pemindai genggam ke bagian atas dan bawah tubuhnya.

      "Apakah kau mengenakan perhiasan?"

      Ia meraba pergelangan tangannya, lalu garis lehernya, dan tiba-tiba teringat. Salibnya.

      "Lepaskan," bentak petugas itu.

      Itu adalah kalung nenek yang diberikan padanya sebelum beliau meninggal, salib kecil perak yang diukir dengan kata-kata dalam bahasa Latin yang tidak pernah beliau terjemahkan. Neneknya mengatakan itu adalah diwariskan oleh nenek beliau. Caitlin tidak terlalu religius, dan tidak benar-benar memahami apa makna semua itu, tapi ia tahu benda itu umurnya ratusan tahun, dan itu adalah benda miliknya yang sangat berharga.

      Caitlin mengangkatnya dari bajunya, mengacungkannya, tapi tidak melepasnya.

      "Saya lebih suka tidak melakukannya," jawabnya.

      Petugas itu memandanginya, dengan tatapan sedingin es.

      Tiba-tiba, terjadi keributan. Ada jeritan ketika seorang polisi mencengkram seorang remaja tinggi kurus dan mendorongnya ke dinding, mengeluarkan pisau kecil dari sakunya.

      Panjaga itu pergi untuk membantu, dan Caitlin mempergunakan kesempatan itu untuk menyelusup dalam kerumunan yang bergerak menuju aula.

      Selamat datang di sekolah umum New York, pikir Caitlin. Bagus.

      Ia sudah menghitung hari-hari menuju kelulusannya.

      *

      Aula itu adalah aula paling luas yang pernah ia lihat. Ia tidak bisa membayangkan bahwa mereka akan dapat memenuhinya, tapi entah bagaimana mereka benar-benar memadatinya, dengan semua remaja yang berdesakan bahu ke bahu. Pasti ada ribuan remaja dalam aula ini, lautan wajah meregang tanpa akhir. Kebisingan di sini bahkan lebih parah, memantul di dinding, semakin pekat. Ia ingin menutup telinganya. Tapi ia bahkan tidak punya ruang bagi sikunya untuk mengangkat lengannya. Ia merasa klaustrafobia.

      Lonceng berbunyi, dan energi itu bertambah.

      Sudah terlambat.

      Ia mencari-cari ruangan di kartunya lagi dan akhirnya menemukan ruangan itu di kejauhan. Ia mencoba untuk menyeruak di antara lautan tubuh, tapi tidak dapat menuju ke mana pun. Akhirnya, setelah beberapa kali berusaha, ia menyadari bahwa ia harus lebih agresif. Ia mulai menyikut dan mendesak. Satu tubuh pada satu waktu, ia memotong melewati semua remaja, menyeberangi aula yang luas, dan mendorong pintu berat supaya terbuka ke kelasnya.

      Ia memberanikan diri atas semua pandangan karena ia, cewek baru, masuk terlambat. Ia membayangkan guru menyemprotnya karena mengganggu ruangan yang sunyi. Tapi ia terkejut menemukan bahwa itu tidak seperti bayangannya sama sekali. Ruangan ini, dirancang untuk 30 remaja tapi memuat 50, berdesakan. Beberapa remaja duduk di bangku mereka, dan yang lainnya berjalan di lorong, berseru dan berteriak satu sama lain. Ini adalah kekacauan.

      Bel sudah berbunyi lima menit yang lalu, tapi guru itu, tidak rapi, mengenakan setelan kusut, bahkan belum memulai mengajar. Dia sebenarnya duduk dengan menaikkan kakinya di meja, membaca koran, mengabaikan siapa saja.

      Caitlin berjalan mendekatinya dan meletakkan kartu identitas barunya di meja. Ia berdiri di sana dan menunggu dirinya untuk mendongak, tapi dia tidak melakukannya.

      Ia akhirnya menelan ludah.

      "Permisi."

      Dia menurunkan korannya dengan enggan.

      "Saya Caitlin Paine. Saya murid baru. Saya rasa saya harus memberikan ini pada Anda."

      "Saya hanya guru pengganti," jawabnya, dan mengangkat korannya, menghalanginya.

      Ia berdiri di sana, bingung.

      "Jadi," ia bertanya, "....Anda tidak mengabsen?"

      "Gurumu kembali di hari Senin," bentaknya. "Dia yang akan menanganinya."

      Menyadari percakapan itu sudah selesai, Caitlin mengambil kembali kartu identitasnya.

      Ia berbalik dan menghadapi ruangan itu. Kekacauan itu tidak berhenti. Jika ada anugerah yang menyelamatkan, setidaknya ia tidak mencolok. Tidak ada seorang pun di sini tampaknya peduli padanya, atau bahkan melihatnya sama sekali.

      Di samping itu, mengamati ruangan penuh sesak benar-benar meruntuhkan syaraf: nampaknya tidak ada tempat tersisa untuk duduk.

      Ia menguatkan dirinya dan; mencengkram buku hariannya, berjalan saat itu menuju lorong, mundur beberapa kali ketika ia berjalan di antara remaja-remaja nakal yang saling berteriak. Ketika ia sampai di belakang, ia akhirnya bisa melihat seluruh ruangan.

      Tidak ada bangku kosong.

      Ia

Скачать книгу