Penjelmaan. Морган Райс

Чтение книги онлайн.

Читать онлайн книгу Penjelmaan - Морган Райс страница 4

Penjelmaan - Морган Райс Jurnal Vampir

Скачать книгу

berdiri di sana, merasa seperti orang bodoh, dan merasa para remaja lain mulai memperhatikan dirinya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia pasti tidak akan berdiri di sana sepanjang waktu, dan guru pengganti itu tidak nampak peduli sama sekali. Ia menoleh dan mencari lagi, mengamati dengan tidak berdaya.

      Ia mendengar tawa dari beberapa lorong jauhnya, dan merasa yakin itu ditujukan padanya. Ia tidak berpakaian seperti para remaja ini, dan ia tidak terlihat seperti mereka. Pipinya memerah ketika ia mulai merasa benar-benar mencolok.

      Tepat ketika ia bersiap-siap untuk keluar daru kelas itu, dan bahkan mungkin keluar dari sekolah ini, ia mendengar sebuah suara.

      "Di sini."

      Ia berbalik.

      Di baris terakhir, di samping jendela, seorang remaja jangkung berdiri dari mejanya.

      "Duduk," katanya. "Silahkan."

      Ruangan itu agak sunyi ketika yang lainnya menunggu untuk melihat bagaimana ia akan bereaksi.

      Ia berjalan ke arahnya. Ia mencoba untuk tidak memandang matanya - mata hijau besar yang bercahaya - tapi ia tidak bisa menahannya.

      Dia ganteng. Ia memiliki kulit kuning langsat yang halus - ia tidak bisa mengatakan apakah dia Hitam, Spanyol, Putih, atau beberapa kombinasi - tapi ia tidak pernah melihat kulit halus dan lembut seperti itu, dilengkapi dengan garis rahang yang kaku. Rambutnya pendek dan berwarna coklat, dan tubuhnya kurus. Ada sesuatu tentang dirinya, sesuatu yang sangat tidak pada tempatnya. Dia kelihatan rapuh. Seorang seniman, mungkin.

      Itu tidak seperti dirinya untuk terpesona dengan seorang laki-laki. Ia pernah melihat teman-temannya jatuh cinta, tapi ia tidak pernah benar-benar mengerti. Sampai saat ini.

      "Di mana kau akan duduk?" tanyanya.

      Ia mencoba mengendalikan suaranya, tapi tidak terdengar meyakinkan. Ia berharap dia bisa mendengar betapa gugupnya ia.

      Ia tersenyum lebar, memperlihatkan gigi yang sempurna.

      "Di sebelah sini," katanya, dan pindah ke kusen jendela besar, hanya beberapa kaki jauhnya.

      Ia memandanginya, dan dia balas memandang padanya, mata mereka benar-benar tertambat. Ia mengatakan pada dirinya sendiri untuk memalingkan muka, tapi ia tidak bisa melakukannya.

      "Terima kasih," ujarnya, dan dengan segera marah pada dirinya sendiri.

      Terima kasih? Hanya itu saja yang kau bisa? Terima kasih!?

      "Betul itu, Barrack!" teriak sebuah suara. "Berikan bangkumu cewek putih yang manis itu!"

      Tawa mengikuti, dan kebisingan dalam ruangan itu tiba-tiba mulai lagi, sebagaimana setiap orang mengabaikan mereka lagi.

      Caitlin melihatnya menundukkan kepalanya, malu.

      "Barrack?" tanyanya. "Apakah itu namamu?"

      "Tidak," jawabnya, wajahnya memerah. "Itu hanya bagaimana mereka memanggilku. Seperti pada Obama. Mereka kira aku seperti beliau."

      Ia menatapnya dengan saksama dan menyadari bahwa ia memang seperti Obama.

      "Itu karena aku separuh kulit hitam, sebagian kulit putih, dan sebagian dari Puerto Rico."

      "Hm, aku kira itu pujian," katanya.

      "Bukan dengan cara mereka mengatakannya," jawabnya.

      Ia mengamati ketika dia duduk di kusen jendela, rasa percaya dirinya mengempis, dan ia bisa menyimpulkan bahwa dia orang yang sensitif. Bahkan rapuh. Dia bukan merupakan bagian kelompok remaja ini. Itu adalah hal yang gila, tapi ia hampir merasa protektif terhadap dia.

      "Aku Caitlin," katanya, mengulurkan tangannya dan menatap matanya.

      Ia mendongak, terkejut, dan senyumnya kembali.

      "Jonah," jawabnya.

      Ia menjabat tangannya dengan erat. Sensasi menggelitik menjalari lengannya saat ia merasakan kulit lembutnya menggenggam tanganya. Ia merasa meleleh ke dalam dirinya. Dia menahan genggaman tangannya beberapa detik lamanya, dan ia tidak dapat menahan untuk balas tersenyum.

      *

      Sisa pagi itu sudah kabur, dan Caitlin lapar pada saat ia sampai di kafetaria. Ia membuka pintu ganda dan terperangah oleh ruangan yang besar, kebisingan luar biasa atas apa yang nampaknya seperti ribuan remaja, semua berteriak. Itu seperti memasuki pusat kebugaran. Kecuali bahwa setiap dua puluh kaki di sana berdiri petugas keamanan, di lorong-lorong, mengamati dengan saksama.

      Seperti biasanya, ia tidak punya gagasan ke mana harus pergi. Ia mencari-cari di ruangan besar itu, dan akhirnya menemukan sebuah tumpukan nampan. Ia mengambil satu, dan memasuki apa yang ia kira sebagai antrian makanan.

      "Jangan memotongku, menyebalkan!"

      Caitlin berbalik dan melihat seorang perempuan besar yang gemuk, setengah kaki lebih tinggi darinya, memandang dengan marah.

      "Maafkan aku, aku tidak tahu-"

      "Antrian di belakang sana!" bentak cewek lain, menunjuk dengan ibu jarinya.

      Caitlin mencari dan melihat antrian itu memanjang paling tidak seratus remaja. Itu terlihat seperti antrian selama dua puluh menit.

      Saat ia mulai menuju ke belakang antrian, seorang remaja di antrian mendorong yang lain, dan dia melayang di depannya, menubruk lantai dengan keras.

      Remaja pertama melompat di atas yang lain dan mulai meninju wajahnya.

      Kafetaria itu meledak dalam raungan kehebohan, ketika lusinan remaja berkumpul berkeliling.

      "LAWAN! LAWAN!"

      Caitlin mengambil beberapa langkah mundur, menyaksikan dalam kengerian pada peristiwa kejam di kakinya.

      Empat petugas keamanan akhirnya datang dan melerai mereka, memisahkan dua remaja berlumuran darah dan menyeret mereka. Mereka tidak nampak terlihat tergesa-gesa.

      Setelah Caitlin akhirnya mendapat makanan, ia memandang ke sekeliling ruangan, berharap ada tanda-tanda Jonah. Tapi ia tidak kelihatan di mana pun.

      Ia berjalan di lorong, melewati meja demi meja, semua dipenuhi dengan remaja. Ada beberapa bangku kosong, dan satu-satunya yang kosong tidak nampak mengundang, bersebelahan dengan kumpulan teman yang besar.

      Akhirnya, ia mengambil tempat duduk di sebuah meja kosong mengarah ke belakang. Hanya ada satu remaja sangat jauh di ujungnya, remaja laki-laki Tiongkok pendek yang lemah dengan sumpit, berpakaian dengan buruk, yang tetap menundukkan kepalanya dan berfokus pada makanannya.

      Ia merasa sendirian. Ia memandang ke bawah dan memeriksa ponselnya. Ada beberapa pesan Facebook dari teman-temannya di kota tempat tinggal terakhirnya. Mereka ingin mengetahui apakah ia menyukai tempat barunya. Entah kenapa, ia merasa tidak ingin menjawabnya. Mereka terasa sangat jauh.

      Caitlin nyaris tidak makan, sebuah muak hari pertama yang samar masih menghinggapinya. Ia mencoba merubah rentetan pikirannya. Ia menutup matanya. Ia memikirkan apartemen barunya, naik lima lantai dalam sebuah bangunan dekil di jalan no. 132. Rasa mualnya semakin

Скачать книгу