Perjuangan Para Pahlawan. Морган Райс
Чтение книги онлайн.
Читать онлайн книгу Perjuangan Para Pahlawan - Морган Райс страница 12
“Tuanku,” Firth berkata dengan suara sengau. “Saya merasa wajib mengingatkan bahwa hari ini kerajaan kita dipenuhi banyak pejabat dari kerajaan McCloud. Akan menjadi sebuah hinaan jika Anda tak berusaha menyenangkan hati mereka, baik musuh maupun bukan. Saya menganjurkan Anda untuk menghabiskan sore Anda dengan berbincang-bincang bersama mereka. Mereka membawa rombongan besar, banyak hadiah – dan, pendeknya, banyak mata-mata.”
“Siapa bilang para mata-mata itu tidak ada di sini?” MacGil balik bertanya, menatap Firth waspada – dan bertanya-tanya, sebagaimana biasanya, bagaimana jika mata-mata itu adalah penasehatnya sendiri.
Firth membuka mulutnya untuk menjawab, namun MacGil mendesah dan mengangkat tangannya, menyudahi pertemuan itu. “Jika tak ada yang lain, aku akan pergi sekarang untuk menghadiri pernikahan putriku.”
“Tuanku,” kata Kelvin, sambil berdehem, “tentu saja ada hal lainnya. Sesuai dengan tradisi, raja mengumumkan nama calon penggantinya pada hari pernikahan putri tertua. Rakyat berharap Anda juga melakukannya. Mereka telah membicarakan hal ini, dan sangat tidak bijaksana untuk mengecewakan mereka. Apalagi karena Pedang Takdir masih belum bergerak.”
“Apakah kau hendak mengajukan nama pewaris takhta sekarang ketika aku masih sanggup memerintah?” tanya MacGil.
“Tuanku, saya tidak bermaksud demikian,” Kelvin berkata terbata-bata, tampak khawatir.
MacGil mengangkat tangannya. “ Aku tahu tradisi itu. Dan memang aku akan mengumumkan nama penerusku hari ini.”
“Dapatkah Anda beritahu kami siapa orangnya?” tanya Firth.
MacGil memandangnya tajam, merasa tersinggung. Firth tukang gosip, dan ia tak memercayai orang ini.
“Kau akan tahu nanti.”
MacGil berdiri, diikuti para hadirin. Mereka membungkuk, membalikkan tubuh dan bergegas meninggalkan ruangan.
Sang Raja berdiri sendiri dan merenung cukup lama. Pada hari-hari seperti ini ia berharap dirinya bukan seorang raja.
*
MacGil melangkah turun dari singgasananya, sepatu botnya bergema dalam keheningan dan melintasi ruangan. Ia membuka sebuah pintu dari kayu oak, menarik sebuah pegangan besi dan memasuki sebuah ruangan kecil.
Ia menikmati ketenangan dan kesunyian dalam ruangan yang nyaman itu, seperti yang biasanya ia rasakan. Dinding ruangan itu melebar dua puluh langkah ke segala arah dengan langit-langit yang melengkung tajam. Ruangan itu seluruhnya terbuat dari batu dengan sebuah jendela kaca bulat di salah satu dindingnya. Cahaya menerobos ke dalam berpendar kekuningan dan kemerahan, menyinari sebuah benda di sisi lain ruangan.
Pedang Takdir.
Di sanalah pedang itu berada, di bagian tengah ruangan. Terbaring di atas sebuah dudukan besi, seperti seorang gadis penggoda. Sebagaimana yang ia lakukan sejak masih kanak-kanak, MacGil berjalan mendekatinya, mengitarinya, memperhatikannya. Pedang Takdir. Pedang legenda, sumber segala keperkasaan dan kekuatan kerajaannya, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Siapapun yang mampu menghunus pedang akan menjadi Yang Terpilih, seseorang yang ditakdirkan untuk memerintah kerajaan sepanjang hidupnya, seseorang yang membebaskan kerajaan dari semua ancaman, baik dari dalam maupun dari luar Cincin. Legenda yang menakjubkan itu menyertainya hingga dewasa, dan beberapa saat sesudah ia dinobatkan sebagai raja, MacGil mencoba mengangkat pedang itu, karena hanya raja keturunan MacGil yang diperbolehkan untuk mencobanya. Semua raja sebelum dirinya tak berhasil menghunus pedang itu. Ia yakin ia bisa. Ia yakin akan menjadi Yang Terpilih.
Akan tetapi, ia gagal. Sama seperti semua raja MacGil sebelumnya. Dan kegagalan itu menodai kepemimpinannya hingga saat ini.
Ia memandangi pedang itu, menelusuri bilahnya yang panjang dan terbuat dari logam misterius yang tak seorang pun bisa mengungkapnya. Asal muasal pedang juga tidak jelas, desas-desus mengatakan pedang itu muncul dari dalam perut bumi diiringi gempa.
Sambil memperhatikan pedang, Sang Raja merasa kegagalan yang ia alami mengganggunya sekali lagi. Ia mungkin adalah seorang raja yang baik, tapi ia bukanlah Yang Terpilih. Rakyat mengetahuinya. Para musuh juga mengetahuinya. Ia mungkin seorang raja yang hebat, tapi apapun yang ia lakukan ia tak pernah bisa menjadi Yang Terpilih.
Jika saja ia adalah Yang Terpilih, maka ia mengira akan ada lebih sedikit gejolak di dalam kerajaannya dan lebih sedikit persekongkolan. Rakyat akan lebih mempercayainya dan musuh-musuhnya tak akan berani menyerang. Sebagian dari dirinya berharap pedang itu lebih baik menghilang, bersama dengan legenda yang menyertainya. Tapi ia tahu hal itu tak mungkin terjadi. Pedang itu adalah legenda, kutukan – dan juga kekuatan yang lebih digdaya daripada sebuah angkatan bersenjata.
Pada saat ia memandangi pedang untuk ribuan kalinya, Raja MacGil hanya bisa bertanya-tanya siapakah orangnya. Siapakah dalam garis keturunannya yang ditakdirkan untuk menghunusnya? Pada saat yang sama ia juga memikirkan hal lain, tugasnya menunjuk seorang pewaris tahta. Ia pun tak tahu siapakah yang akan ditakdirkan memegang tampuk kekuasaan.
“Bobot pedang itu cukup berat,” ujar sebuah suara.
MacGil memutar tubuhnya, terkejut karena ada yang menemaninya di ruangan sempit itu.
Di sana, tepat di pintu masuk, berdirilah Argon. MacGil telah mengenali suaranya sebelum ia melihatnya dan merasa kecewa mengapa ia tak datang lebih awal, sekaligus merasa senang karena Argon bersamanya sekarang.
“Kau terlambat,” kata MacGil.
“Aturan waktumu tak berlaku untukku,” jawab Argon.
MacGil kembali menatap pedang.
“Pernahkah kau mengira aku akan mampu menghunusnya?” kenang MacGil. “Di hari ketika aku menjadi raja?”
“Tidak,” jawab Argon datar.
“Jadi kau sudah tahu aku tak akan bisa melakukannya. Kau sudah mengetahuinya dari awal, bukan?”
“Ya.”
MacGil termenung.
“Jawabanmu membuatku takut. Ini tak seperti dirimu.”
Argon diam, dan akhirnya MacGil menyadari sudah cukup baginya membicarakan masa lalu.
“Aku akan mengumumkan penerusku hari ini,” kata MacGil. Janggal rasanya mengumumkan nama pewaris takhta di hari seperti sekarang. Ini menodai kebahagiaan raja di hari pernikahan putrinya.”
“Ada beberapa kesenangan yang ditakdirkan untuk ternoda.”
“Tapi aku masih punya banyak waktu untuk berkuasa,” sangkal MacGil.
“Mungkin tak sebanyak yang kau bayangkan,” jawab Argon.
MacGil mengerutkan matanya, heran. Apakah itu sebuah pesan?
Namun Argon tak mengatakan apa-apa lagi.
“Enam anak. Siapakah yang harus kupilih?” tanya MacGil.
“Mengapa bertanya padaku? Kau telah memilihnya.”
MacGil menatapnya. “Kau sudah mengetahuinya. Ya, benar. Aku sudah