Yang Terlarang. Owen Jones
Чтение книги онлайн.
Читать онлайн книгу Yang Terlarang - Owen Jones страница 5
Din mulai menangis dan berlari ke kamar mandi. “Maaf, Sayang, ibu tidak bermaksud membuatmu sedih!” teriak ibu ke punggung putrinya.
Ketika Din tiba di rumah bibi buyutnya, lima belas menit kemudian, shaman tua itu sudah bangun dan berpakaian rapi, duduk di balai-balai di depan rumah, sedang makan nasi dan sup.
“Selamat pagi, Din, senang bertemu denganmu, apa kau ingin semangkuk sup? Ini lezat.” Bibi Da menyayangi semua cucu perempuannya, khususnya Din, tetapi ketika Bibi Da mendengar apa yang harus Din tanyakan, Bibi Da tidak dapat menahan diri. Bibi Da mengatakan bahwa ibu Din terlalu memaksa dalam meminta diagnosis yang tepat seperti ini dalam waktu dua puluh empat jam.
“Duh, ibumu itu! Oke, ayo kita lihat apa yang bisa kita lakukan … Ayahmu terlihat buruk, bukan?”
“Ya, Bibi Da, dia seputih mayat, tapi menurut kami dia belum mati… Mum menancapkan jarum pada ayah saat aku pergi untuk melihat reaksinya, tapi aku tidak menunggu untuk mengetahuinya reaksinya. Aku tidak ingin Paw mati, Bibi Da, tolong selamatkan ayahku.”
“Aku akan melakukan semua yang aku bisa, Nak, tapi saat Buddha memanggil, tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa mencegahnya, tapi mari kita lihat apa yang bisa kita lakukan. Ayo ikut denganku.”
Bibi Da berjalan di depan Din menuju ke naungan sucinya, menyalakan lilin lalu menutup pintu di belakang mereka. Bibi Da berharap Din menunjukkan minat terhadap ‘cara lama’ itu, mumpung dirinya masih cukup muda untuk mengajarinya. Dia tahu, suatu hari nanti, dia akan membutuhkan pengganti, apabila tugas itu tetap diemban oleh keluarga Lee.
Bibi Da menunjuk ke tikar Penanya di lantai dan menyuruh Din duduk, kemudian dia berjalan mengelilingi ruangan sambil menggumamkan doa dan mantra lalu menyalakan beberapa lilin lagi. Kemudian, Bibi Da duduk di hadapan Din, yang sedang menatap ke bawah ke tangannya yang ditangkupkan di atas pangkuannya.
Bibi Da memandang keponakannya, merasakan sedikit getaran di sekujur tubuhnya, menatap ke tangannya sendiri yang ditangkupkan selama beberapa detik, lalu menatap Din lagi.
“Kau datang untuk mencari nasihat tentang hal lainnya? Silakan ajukan pertanyaanmu?” kata Bibi Da, tapi dengan suara yang dalam, gelap, bergemuruh yang belum pernah didengar siapa pun di luar ruangan itu.
Transformasi itu mengejutkan Din, seperti yang selalu terjadi ketika bibinya mengalami kesurupan dan membiarkan entitas lain mengendalikan tubuhnya. Walau wajahnya tidak banyak berubah, tetapi seluruh tubuhnya berubah secara halus, dengan cara yang sama ketika seorang aktor atau peniru dapat mengubah bahasa tubuhnya agar sesuai dengan karakter yang dia mainkan, tetapi lebih dari itu. Seolah-olah jiwa Bibi Da telah diganti dengan orang lain, yang membuatnya tidak hanya terlihat berbeda tetapi juga terdengar berbeda.
Din memandang shaman tua yang bukan lagi bibinya.
“Shaman, ayahku sakit parah. Aku perlu tahu ayah sakit apa dan apa yang bisa kami lakukan untuk menyembuhkannya.”
“Ya, ayahmu, yang kau panggil ‘Paw’, kan.”
Orang itu, bibinya terdengar seperti pria pada saat itu, meletakkan tangannya di tiap bungkusan yang ditinggalkan Heng pada hari sebelumnya lalu menutup mata bibinya. Din melongo sesaat lamanya lalu keheningan yang begitu dalam muncul, hingga dia pun akan mampu mendengar semut berjalan di atas tanah yang keras.
Din sudah pernah menjalani selusin sesi seperti itu sebelumnya, meski tidak pernah untuk sesuatu yang seserius ini. Dia pernah bertanya tentang keluhanannya terkait perut sekali, dan tentang menstruasinya beberapa tahun yang lalu. Terakhir kali, dia bertanya apakah dia akan segera menikah. Dia bukan takut dengan ritualnya, melainkan hasilnya. Akan tetapi, dia tahu bahwa dirinya hanya bisa duduk, menunggu, dan mengamati, karena menurutnya itu menarik.
Shaman itu perlahan membuka bungkusan pertama yang berisi batu, memeriksanya dengan cermat, mengendusnya, lalu meletakkannya kembali di atas daun pisang pembungkusnya. Kemudian mengambil bungkusan kedua yang mengandung lumut, mengendusnya, lalu menggantinya di atas tikar di depannya.
Shaman itu memandang Din dengan serius. Setelah beberapa menit, dia berkata,
“Orang yang kau khawatirkan sedang sakit parah. Sebenarnya, dia sangat dekat dengan kematian ketika dia memberikan sampel ini, tetapi dia belum mati… Beberapa organ dalamnya, terutama yang berhubungan dengan pembersihan darah, kondisinya sangat buruk… Yang kalian sebut ginjal di Thailand, kukira, sudah sama sekali tidak bekerja, dan levernya rusak dengan cepat.
“Artinya, kematiannya sudah dekat. Tidak ada obat medis yang diketahui.”
Shaman itu bergidik lagi dan kembali menjadi Bibi Da tua, yang berkedip beberapa kali. Dia menggeliat sedikit seolah-olah mengenakan gaun ketat tua lalu mengusap matanya.
“Tadi bukan kabar baik, kan Nak? Kau tahu, kan, pada saat aku dirasuki, aku tidak selalu bisa mendengar semuanya. Tapi aku mendengar sedikit dan aku bisa tahu dari wajahmu bahwa itu kabar buruk tentang ayahmu.”
“Roh tadi berkata bahwa Paw pasti akan segera mati, karena tidak ada obat medis untuk gagal ginjal dan hati …”
“Maaf, Din, kau tahu bibi sangat menyayangi ayahmu … Begini, bibi akan memberitahumu sesuatu, bibi sudah mempelajari beberapa trik sendiri selama bertahun-tahun, selain yang kumiliki. Mari kita lihat sekarang … Ya, batunya … coba lihat di mana ayahmu meludahinya? Tidak ada bekasnya! Artinya, tidak ada garam dalam ludah ayahmu, tidak ada garam, tidak ada mineral, tidak ada vitamin, tidak ada apa-apa, hanya air.
“Sekarang, lumutnya.” Bibi Da mengendusnya dari kejauhan kemudian mendekatkan lumut itu ke hidungnya.
“Sama! Cium ini!” Bibi Da menyodorkannya agar Din bisa mengendusnya, tetapi Din enggan mencium bau urin ayahnya.
“Ayo, itu tidak akan menggigitmu!” kata Bibi Da. Din melakukan apa yang disuruh.
“Tidak bau. Hanya bau lumut.”
“Tepat! Urin seorang pria berbau seperti kencing kucing jika dibungkus, tetapi urin ayahmu tidak. Jadi, tidak ada daging di dalamnya yang membusuk. Maka dari itu, darah Ayahmu juga hanya air.
“Kau tidak bisa hidup lama dengan air sebagai darahmu kan? Masuk akal, bukan? Darahmu mengambil semua kebaikan di seluruh tubuh, tapi ayahmu tidak punya, dan itulah sebabnya dia begitu lemah sepanjang waktu!
“Pulanglah sekarang, cari tahu apa kita sudah terlambat. Apabila ayahmu masih hidup, kembalilah ke sini untuk menjemputku dan bawa juga skutermu itu. Ayo pergi sekarang dan cepatlah!”
Din melesat keluar pintu lalu berlari pulang ke rumah.
Ketika Din pergi untuk memeriksa ayahnya, Bibi Da mempersiapkan diri untuk pergi, karena dia tahu di dalam hatinya bahwa Heng belum mati, belum sepenuhnya. Bibi Da memilih beberapa tumbuhan lalu memasukkannya ke dalam tas, memercikkan air ke wajahnya lalu mengikat rambutnya dengan kerudung agar tidak berantakan saat naik motor. Kemudian, dia keluar untuk menunggu keponakannya.
Din tiba beberapa menit kemudian dalam balutan awan debu.
“Cepatlah Bibi, Mum ingin bibi datang secepatnya, karena ayah akan segera meninggal.”
Bibi Da menaiki sadel dari samping skuter, duduk miring layaknya seorang wanita, lalu mereka lepas landas. Rambut panjang Din mencambuk berulang-ulang wajah tua Bibi