Perjuangan Para Pahlawan. Морган Райс
Чтение книги онлайн.
Читать онлайн книгу Perjuangan Para Pahlawan - Морган Райс страница 5
Thor merasa sulit bernafas ketika si prajurit melangkah dengan tenang, meneliti kerumunan yang menanti penuh harap. Ia memulainya dengan melangkah di sisi jalan yang lebih jauh, kemudian berjalan mengelilingi mereka perlahan. Thor tentu saja mengenali semua bocah lainnya. Ia juga tahu beberapa dari mereka diam-diam tak ingin terpilih, meskipun keluarga mereka menginginkannya. Mereka takut menjadi prajurit bernasib malang.
Thor merasa terhina. Ia merasa dirinya pantas untuk terpilih seperti lainnya. Hanya karena para kakaknya lebih tua, besar dan kuat bukan berarti dia tak punya hak untuk tampil dan terpilih. Ia terbakar rasa benci pada ayahnya yang hampir saja membakar kulitnya ketika si prajurit mulai mendekat.
Si prajurit berhenti untuk pertama kali di depan para kakaknya. Ia melihat mereka dari atas ke bawah, dan tampak tertarik. Ia merentangkan tangan, meraih salah satu sarung pedang mereka dan merenggutnya, seperti hendak mengetahui seberapa kuat pedang itu.
Senyumnya mengembang.
“Kau belum pernah memakai pedang ini untuk bertarung, bukan?” tanyanya pada Drake.
Thor melihat Drake gugup untuk pertama kali seumur hidupnya. Drake menelan ludah.
“Tidak, Tuan. Tapi saya pernah menggunakannya beberapa kali saat latihan, dan saya berharap untuk – “
“Saat latihan!”
Si prajurit tertawa keras dan membalikkan tubuh ke prajurit lainnya, yang kemudian ikut menertawakan Drake.
Wajah Drake merah padam. Itu adalah pertama kalinya Thor melihat Drake merasa dipermalukan – karena biasanya Drakelah yang mempermalukan orang lain.
“Jadi aku harus mengingatkan musuh untuk takut padamu – yang hanya mengayunkan pedangnya untuk latihan!”
Gerombolan prajurit itu lalu tertawa lagi.
Prajurit itu kemudian berpaling pada kakak Thor lainnya.
“Tiga bocah dari keluarga yang sama,” katanya sambil menggosok cambang di dagunya. “Bisa berguna. Kalian semua punya postur tubuh yang bagus, meski belum tentu layak. Kalian perlu banyak berlatih jika ingin lolos.”
Ia berhenti sejenak.
“Sepertinya masih ada ruang.”
Ia mengangguk ke arah kereta di belakangnya.
“Masuk, dan cepatlah. Sebelum aku berubah pikiran.”
Ketiga kakak Thor berlari cepat ke arah kereta dengan wajah berseri-seri. Thor melihat wajah ayahnya pun turut gembira.
Tapi Thor merasa kecewa ketika melihat mereka pergi.
Si prajurit membalikkan badan dan melangkah menuju rumah berikutnya. Thor merasa tak tahan lagi.
“Tuan!” seru Thor.
Ayahnya membalikkan tubuh dan menatapnya, tapi Thor tak peduli.
Si prajurit menghentikan langkahnya, kemudian memutar punggungnya.
Thor maju dua langkah ke depan, jantungnya berdebar dan memukul-mukul dadanya dengan keras.
“Anda belum mempertimbangkan saya, Tuan,” katanya.
Si prajurit terhenyak, memandangi Thor dari atas ke bawah seakan ia sedang bergurau.
“Benarkah?” tanyanya, dan meledaklah tawanya.
Anak buahnya pun tertawa. Tapi Thor tidak peduli. Sekarang adalah saatnya. Sekarang atau tidak sama sekali.
“Saya ingin bergabung dengan Legiun!” katanya.
Si prajurit melangkah ke hadapan Thor.
“Sekarang?”
Ia tampak geli.
“Bukankah kau belum berumur empat belas tahun?”
“Sudah, Tuan. Dua minggu lalu.”
“Dua minggu lalu!”
Si prajurit terguncang dengan tawanya, demikian pula orang-orang di belakangnya.
“Jadi para musuh kita pastinya menggigil ketakutan begitu melihatmu.”
Thor merasa dirinya terbakar penuh penghinaan. Ia harus melakukan sesuatu. Ia tak bisa membiarkan semua berakhir seperti ini. Si prajurit membalikkan tubuh dan melangkah pergi – namun Thor tak membiarkannya.
Thor melangkah ke depan dan berteriak : “Tuan! Anda membuat suatu kesalahan!”
Kerumunan orang itu menarik nafas ketakutan, ketika si prajurit berhenti dan membalikkan tubuhnya perlahan sekali lagi.
Kali ini ia tampak marah.
“Anak tolol,” kata ayahnya sambil menarik bahu Thor, “sana cepat masuk!”
“Tidak mau!” seru Thor, sambil melepaskan diri dari cengkeraman ayahnya.
Si prajurit maju ke arah Thor, sementara ayahnya mengambil langkah mundur.
“Tahukah kau apa hukuman akibat mengganggu Kesatuan Perak?” bentak si prajurit.
Jantung Thor seakan berhenti berdetak, tapi ia tak bisa mundur.
“Maafkanlah dia, Tuan,” kata ayahnya. “Ia masih muda dan – “
“Aku tak berbicara padamu,” kata si prajurit. Dengan tatapan tajam, ia memaksa ayah Thor untuk diam.
Si prajurit berpaling pada Thor.
“Jawab!” bentaknya.
Thor menelan ludah, tak dapat berkata-kata. Ini bukanlah sesuatu yang ia bayangkan.
“Mengganggu Kesatuan Perak sama saja dengan menganggu Raja,” ucap Thor lemah, mengulang apa yang ia pelajari melalui ingatannya.
“Ya,” kata si prajurit. “Dan itu berarti aku bisa mencambukmu empat puluh kali jika kumau.”
“Saya tak bermaksud mengganggu, Tuan,” kata Thor. “Saya hanya ingin terpilih. Saya mohon. Saya telah memimpikan ini seumur hidup saya. Tolonglah. Biarkan saya bergabung dengan Anda.”
Si prajurit memandang wajahnya, dan perlahan air mukanya melunak. Setelah beberapa saat, ia menggelengkan kepalanya.
“Kau masih kecil. Kau memang berani. Tapi kau belum siap. Kembalilah pada kami saat kau sudah besar.”
Sesudah itu ia berbalik dan melangkah pergi, beralih ke bocah lelaki lainnya. Kemudian ia menghela kudanya dengan cepat.
Thor yang kecewa memandangi setiap gerakan kereta, yang pergi secepat mereka datang.
Terakhir