Penjelmaan. Морган Райс
Чтение книги онлайн.
Читать онлайн книгу Penjelmaan - Морган Райс страница 5
Adik laki-lakinya. Sam. 14, akan menjadi 20. Sam tidak pernah terlihat ingat bahwa dia adalah adiknya: dia selalu bertingkah seperti kakak laki-lakinya. Dia tumbuh tabah dan kuat dari semua kepindahan, dari kepergian Ayah mereka, dari cara Ibu mereka memperlakukan mereka berdua. Ia bisa melihat hal itu semakin mendekati dia dan bisa melihat bahwa dia mulai menutup dirinya. Seringnya perkelahian sekolah dia tidaklah mengejutkannya. Ia takut itu hanya akan menjadi lebih buruk.
Tapi ketika berhubungan dengan Caitlin, Sam sangat menyayanginya. Dan ia juga menyayanginya. Dia adalah satu-satunya hal yang kosntan dalam hidupnya, satu-satunya yang bisa ia andalkan. Dia nampaknya menguasai satu titik lembut yang tersisa dalam dunianya. Ia bertekad melakukan yang terbaik untuk melindungi dia.
“Caitlin?”
Ia terlompat.
Berdiri di depannya, dengan baki di satu tangan dan kotak biola di tangan lainnya, adalah Jonah.
"Bolehkah aku bergabung denganmu?"
"Ya - maksudku tidak," katanya, salah tingkah.
Bodoh, pikirnya. Berhentilah bertingkah begitu gugup.
Jonah menyunggingkan senyumnya, lalu duduk di depan Caitlin. Dia duduk tegak, dengan postur tubuh yang sempurna, dan meletakkan biolanya dengan hati-hati di sisinya. Dia meletakkan makanannya dengan perlahan. Ada sesuatu tentang dirinya, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan. Dia berbeda dari siapa pun yang pernah is jumpai. Sepertinya dia berasal dari jaman yang berbeda. Dia benar-benar tidak berasal di tempat ini.
"Bagaimana hari pertamamu?" tanya Jonah.
"Tidak seperti yang kuharapkan."
"Aku tahu apa yang kamu maksud," kata Jonah.
"Apakah itu sebuah biola?"
Ia mengangguk pada instrumennya. Dia tetap menutupnya, dan tetap meletakkan satu tangan di atasnya, seolah-olah takut seseorang mungkin mencurinya.
"Ini sebenarnya adalah biola alto. Ini hanya sedikit lebih besar, tapi suaranya sangat berbeda. Lebih mellow."
Ia tidak pernah melihat sebuah biola alto, dan berharap dia akan meletakkannya di meja dan menunjukkan padanya. Tapi dia tidak melakukan apa-apa, dan ia tidak ingin mengungkitnya. Ia masih meletakkan tangan di atasnya, dan dia nampaknya melindungi benda itu, seperti layaknya benda yang personal dan pribadi.
"Apakah kau sering berlatih?"
Jonah mengangkat bahu. "Beberapa jam sehari," jawabnya sambil lalu.
"Beberapa jam!? Kau pasti hebat!"
Dia mengangkat bahu lagi. "Aku oke, sepertinya. Ada banyak pemain biola yang sangat lebih bagus dariku. Tapi aku berharap ini adalah tiketku untuk keluar dari tempat ini."
"Aku selalu ingin bermain piani," kata Caitlin.
"Kenapa tidak?"
Ia akan berkata, aku tidak pernah punya piano, tapi ia menghentikan dirinya sendiri. Sebaliknya, ia mengangkat bahu dan kembali pada makanannya.
"Kau tidak perlu memiliki sebuah piano," kata Jonah.
Ia mendongak, terkejut bahwa ia dapat membaca pikirannya.
"Ada ruang latihan di sekolah ini. Untuk semua hal jelek yang ada di sini, paling tidak itulah hal baiknya. Mereka akan memberimu pelajaran dengan gratis. Yang perlu kau lakukan hanya mendaftar."
Mata Caitlin melebar.
"Sungguh?"
"Ada lembar pendaftaran di luar ruang musik. Mintalah bertemu Ibu Lennox. Katakan pada beliau kau adalah temanku."
Teman. Caitlin menyukai bunyi kata itu. Ia perlahan-lahan merasakan suatu kegemburaan yang muncul di dalam dirinya.
Ia tersenyum lebar. Mata mereka bertemu selama sekejap.
Kembali memandangi mata hijaunya yang bercahaya, ia terbakar oleh keinginan untuk menanyakan jutaan pertanyaan: Apa kau punya pacar? Mengapa kau sangat baik? Apa kau benar-benar menyukaiku?
Tapi, sebaliknya, ia menggigit lidahnya dan tidak mengatakan apapun.
Takut bahwa waktu mereka bersama akan segera habis, ia memindai otaknya atas sesuatu untuk ditanyakan pada dia yang akan memperpanjang percakapan mereka. Ia mencoba untuk memikirkan sesuatu yang akan memastikan bahwa ia akan dapat menemuinya lagi. Tapi ia merasa gugup dan membeku.
Ia akhirnya membuka mulutnya, dan ketika ia melakukannya, lonceng berdentang.
Ruangan itu meledak menjadi riuh dan bergerak, dan Jonah berdiri, meraih biola altonya.
"Aku terlambat," katanya, meraih bakinya.
Dia melihat ke arah baki Caitlin. "Bolehkah aku membawa bakimu?"
Ia menunduk, menyadari bahwa ia melupakannya, dan menganggukkan kepalanya.
"Oke," kata Jonah.
Ia berdiri di sana, tiba-tiba malu, tidak tahu apa yang harus dikatakan.
"Hmm...sampai ketemu lagi."
"Sampai ketemu lagi," jawab Caitlin dengan lemah, suaranya hampir-hampir menyeruapi bisikan.
*
Hari pertama sekolah selesai, Caitlin keluar dari bangunan itu menuju ke siang hari bulan Maret yang cerah. Meskipun bertiup angin kencang, ia tidak lagi merasa dingin. Meskipun semua remaja di sekelilingnya berteriak ketika mereka mengalir keluar, ia tidak lagi merasa terganggu oleh kebisingan itu. Ia merasa hidup, dan bebas. Sisa hari itu telah berjalan secara samar-samar; ia bahkan tidak bisa mengingat satu saja nama guru baru.
Ia tidak dapat berhenti memikirkan Jonah.
Ia bertanya-tanya apakah ia telah bertingkah seperti orang bodoh di kafetaria itu. Ia telah tersandung oleh kata-katanya; ia bahkan nyaris tidak menanyakan apapun. Yang bisa ia pikirkan hanya menanyakan tentang biola altonya yang bodoh. Ia harusnya menanyakan di mana dia tinggal, dari mana dia berasal, ke mana dia mendaftar kuliah.
Yang paling penting, apakah dia memiliki seorang pacar. Seseorang seperti dia seharusnya mengencani seseorang.
Tepat pada saat itu, seorang remaja perempuan Hispanik cantik yang berpakaian dengan bagus tersenggol olah Caitlin. Caitlin memandanginya dari atas ke bawah ketika ia lewat, dan bertanya-tanya selama sedetik apakah itu adalah pacarnya.
Caitlin berbelok ke jalan no. 134, dan selama sedetik, melupakan ke mana ia akan pergi. Ia tidak pernah berjalan kaki pulang dari sekolah sebelumnya, dan selama beberapa saat, ia sama sekali tupa di mana apartemen barunya. Ia berdiri di sana di pojokan, bingung. Sebuah awan menutupi matahari dan angin kencang berhembus, dan ia tiba-tiba merasa dingin lagi.
"Hei, amiga!"
Caitlin berbalik, dan menyadari ia berdiri di depan kios dekil di pojokan. Empat pria lusuh duduk di kursi plastik di depannya, tampaknya tidak menyadari hawa dingin, menyeringai pada Caitlin seolah-olah ia