Ikrar Kemenangan. Морган Райс
Чтение книги онлайн.
Читать онлайн книгу Ikrar Kemenangan - Морган Райс страница 8
Gareth berbalik dan melemparkan pipa opium pada penampakan itu, berharap bahwa jika ia melemparkannya cukup cepat mungkin akan benar-benar mengenainya.
Tapi pipa itu hanya melayang di udara dan menabrak dinding, hancur.
Ayahnya masih berdiri di sana, dan melotot ke arahnya.
"Obat itu tak akan membantumu," ayahnya memaki.
Gareth tidak tahan lagi. Dia menyerang penampakan itu, mengulurkan tangannya, ingin sekali mencakar wajah ayahnya; tapi seperti biasanya, dia menembus tidak mengenai apa-apa selain udara, dan kali ini terjerembab ke seberang ruangan dan mendarat keras di meja kayu ayahnya, membuatnya menjatuhkannya ke lantai bersama dirinya.
Gareth terguling di lantai, terengah-engah, dan mendongark lalu melihat ia telah melukai lengannya. Darah mengalir di pakaiannya, dan ia melihat dan menyadari bahwa dirinya masih mengenakan baju dalam yang ia pakai untuk tidur selama berhari-hari; sesungguhnya, ia tidak ganti baju selama seminggu sampai hari ini. Ia menatap bayangan dirinya sendiri dan melihat rambutnya awut-awutan; ia terlihat seperti berandalan. Sebagian dari dirinya sulit memercayai bahwa dirinya telah tenggelam begitu rendah. Namun bagian dari dirinya yang lain tidak lagi peduli. Satu-satunya hal yang tersisa di dalam dirinya adalah hasrat membara untuk menghancurkan – untuk menghancurkan bekas-bekas peninggalan ayahnya yang terdahulu. Dia ingin meratakan kastil ini dengan tanah, beserta Istana Raja. Itu akan menjadi balas dendam atas perlakuan yang ia terima sebagai seorang anak. Kenangan-kenangan itu terperangkap di dalam dirinya, seperti sebuah duri yang tak bisa ia cabut.
Pintu ruang belajar ayahnya terbuka lebar, dan segera masuklah salah satu pelayan Gareth, menatapnya dengan ketakutan.
“Baginda,” ujar pelayan itu. “Saya mendengar suara dentaman. Apakah Anda baik-baik saja? Baginda, Anda berdarah!”
Gareth menatap bocah itu dengan kebencian. Gareth berusaha berdiri, untuk mencambuknya, tapi dia terpeleset sesuatu, dan kembali jatuh ke lantai, kehilangan keseimbangan karena efek terakhir opium.
“Baginda, saya akan menolong Anda!”
Bocah itu segera maju dan meraih lengan Gareth, yang sangat kurus, hampir-hampir hanya berupa daging dan tulang.
Namun Gareth masih mempunyai sisa kekuatan dan saat bocah itu menyentuh lengannya, ia mendorongnya, mengirimkannya ke seberang ruangan.
“Jika kau sentuh aku lagi maka aku akan memotong tanganmu,” Gareth mendidih.
Bocah itu mundur ketakutan, dan saat itu juga, pelayan lain memasuki ruangan, ditemani oleh seorang pria tua yang samar-samar Gareth kenali. Entah di mana di dalam ingatannya ia mengenalnya – tapi ia tidak bisa mengigat siapa.
“Baginda,” terdengarlah sebuah suara pria tua yang serak, “kami telah menunggu Anda di ruangan dewan selama setengah hari. Para anggota dewan tak bisa menunggu lebih lama lagi. Mereka mempunyai berita mendesak, dan harus memberitahukannya kepada Anda sebelum hati ini berakhir. Akankah Anda datang?”
Gareth menyipitkan matanya pada pria itu, mencoba mengingatnya. Ia samar-samar ingat dia telah mengabdi kepada ayahnya. Ruangan dewan... Pertemuan... Itu semua berputar-putar di dalam pikirannya.
“Siapakah kau?” Gareth bertanya.
“Baginda, saya Aberthol. Penasihat terpercaya ayah Anda,” ujarnya, melangkah lebih dekat.
Ingatannya perlahan-lahan kembali. Aberthol. Dewan. Pertemuan. Pikiran Gareth berputar, kepalanya sakit. Ia hanya ingin sendirian saja.
“Tinggalkan aku,” tukasnya. “Aku akan ke sana.”
Aberthol mengangguk dan segera keluar dari ruangan itu bersama sang pelayan, menutup pintu di belakang mereka.
Gareth berlutut di sana, memegang kepalanya, mencoba untuk berpikir, untuk mengingat. Itu semua terlalu banyak. Ingatannya mulai kembali sedikit demi sedikit. Perisai telah turun; Kekaisaran menyerang; setengah istananya tersisa; saudarinya telah meninggalkan dirinya; menuju Silesia…Gwendolyn…Itu dia. Itulah apa yang coba ia ingat.
Gwendolyn. Ia membencinya dengan segala kemurkaan yang tak bisa ia gambarkan. Sekarang, lebih dari sebelumnya, ia ingin membunuhnya. Ia harus membunuhnya. Semua masalah dalam dunia ini – itu semua disebabkan olehnya. Ia akan menemukan cara untuk mengembalikannya, bahkan jika ia harus mati dalam melakukannya. Dan kemudian ia akan membunuh saudara kandungnya.
Gareth mulai merasa lebih baik karena pikiran itu.
Dengan susah payah, dia berusaha berdiri dan terhuyung ke seberang ruangan, menabrak pinggir meja saat ia melakukannya. Ketika dia mendekati pintu, ia melihat patung pualam putih ayahnya, sebuah patung yang sangat disukai ayahnya, dan ia mengulurkan tangan, menyambar kepala patung itu dan melemparkannya ke dinding.
Patung itu hancur berkeping-keping, dan untuk untuk pertama kalinya pada hari itu, Gareth tersenyum. Mungkin hari ini tidak begitu buruk.
*
Gareth melangkah dengan angkuh menuju ruangan dewan yang dijaga oleh beberapa pengawal, membanting pintu ek besar itu dengan telapak tangannya, membuat semua orang di dalam ruangan yang riuh itu terkejut atas kehadirannya. Mereka semua segera berdiri tegak.
Biasanya, hal ini akan memberikan sedikit kepuasan bagi Gareth, pada hari ini, dia tak lagi peduli. Dia terganggu oleh hantu ayahnya, dan diliputi kemurkaan karena saudarinya telah pergi. Emosinya teraduk-aduk di dalam dirinya, dan dia harus mengeluarkannya.
Gareth terhuyung melewati ruangan besar itu dalam kekaburan yang ditimbulkan opiumnya, berjalan menuju ke tengah lorong menuju singgasananya, lusinan anggota dewan berdiri saat dia lewat. Peserta majelis itu semakin banyak, dan hari ini energi mereka sangat gelisah, karena semakin banyak orang yang kelihatannya mendengar kabar tentang dikuasainya setengah Istana Raja, dan perisai turun. Sepertinya seolah-olah siapa pun yang tersisa di Istana Raja menuntut jawaban.
Dan tentu saja, Gareth tak punya jawabannya.
Saat Gareth berjalan dengan angkuh menaiki anak tangga berwarna gading menuju singgasana ayahnya, ia melihat, berdiri dengan sabar di belakangnya, Lord Kutlin, pimpinan prajurit bayaran dari pasukan penyerang pribadinya, satu pria yang tersisa di dalam istana yang bisa ia percayai. Bersamanya berdirilah lusinan petarungnya, berdiri di sana dalam diam, tangan-tangan pada pedang mereka, siap untuk bertarung sampai mati demi Gareth. Itu adalah satu hal tersisa yang memberikan rasa nyaman bagi Gareth.
Gareth duduk di singgasananya dan mengamati ruangan itu. Ada begitu banyak wajah, beberapa ia kenali dan banyak yang tidak. Ia tak memercayai satu pun dari mereka. Setiap hari ia menyingkirkan semakin banyak orang dari istananya; ia telah mengirimkan begitu banyak dari mereka ke penjara bawah tanah, dan bahkan kepada algojo. Tak sehari pun berlalu ketika ia tidak memnunuh setidaknya beberapa orang. Ia mengira itu adalah kebijakan yang bagus: itu membuat orang-orang tetap di bawah kakinya, dan mencegah terbentuknya pemberontakan.
Ruangan itu menjadi hening, menatap ke arahnya dengan bingung. Mereka semua nampak takut untuk berbicara. Persis seperti itulah yang ia inginkan. Tak ada yang membuatnya lebih senang dibandingkan menyuntikkan ketakutan kepada bawahannya.
Akhirnya, Aberthol melangkah maju, tongkatnya bergema di batu, dan berdeham.
“Baginda,”